Ilustrasi (Foto: istimewa) |
Saat ini sangat banyak kita jumpai di media cetak, audio visual maupun disekitar kita masalah- masalah yang menyangkut sengketa pertanahan. Sengketa atau konflik pertanahan yang terjadi di masyakarat belakangan ini muncul dalam beragam bentuk.
Pihak yang terlibat dalam proses penyelesiakan konflik tersebut pun tidak sedikit baik negara maupun institusi civil society seperti Lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di wilayah ponorogo sendiri yang didominasi oleh daerah persawahan milik para petani lokal sering terjadi konflik atau sengketa tanah. Seperti yang kita ketahui petani memiliki posisi yang sangat strategis dalam pemenuhan pangan masyarakat Indonesia, sehingga peningkatan komoditas pertanian amat perlu dilakukan.
Jika wilayah persawahan banyak yang hilang akibat persengketa lahan, hal ini akan mempengaruhi hasil panen dan tidak bisa mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia khususnya di Kabupaten Ponorogo.
Konflik agraria dan sengketa tanah menjadi salah satu gesekan yang mengganggu efektivitas kehidupan pertanian di Kabupaten Ponorogo. Setidaknya ada dua pemicu konflik agraria, pertama kurang tepatnya hukum dan kebijakan pengatur masalah agraria, baik terkait pandangan atas tanah, status tanah dan kepemilikan, hak-hak atas tanah, maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah.
Kedua, kelambanan dan ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah, yang akhirnya berujung pada konflik. Akibatnya, banyak petani di wilayah pedesaan Ponorogo yang kehilangan mata pencaharian dan akhirnya beralih menjadi pekerja harian bahkan banyak yang menjadi pengangguran. Pengangguran menyebabkan bertambahnya penduduk miskin di daerah terpencil seperti pedesaan yang sebagian besar adalah petani. Oleh karena itu, Reforma Agraria hadir untuk mempersempit ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya akan memberikan harapan baru untuk perubahan dan pemerataan sosial ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Reforma Agraria merupakan salah satu Program Prioritas Nasional yang ditingkatkan Pemerintahan Jokowi-JK dalam upaya membangun Indonesia dari pinggir serta meningkatkan kualitas hidup; sebagaimana terkandung dalam Nawa Cita Jokowi-JK. Menilik sebelumnya pada UU Pokok Agraria tahun 1960, terdapat tiga tujuan mulia yang ingin dicapai: Pertama, Menata ulang struktur agraria yang timpang jadi berkeadilan, Kedua, Menyelesaikan konflik agraria, dan Ketiga menyejahterakan rakyat setelah reforma agraria dijalankan.
Reforma agraria secara fundamental memberikan program-program yang dapat menuntaskan masalah kemiskinan masyarakat desa, meningkatkan kesejahteraan dengan kemandirian pangan nasional, meningkatkan produktivitas tanah, memberikan pengakuan hak atas tanah yang dimiliki baik secara pribadi, negara dan tanah milik umum yang pemanfaatannya untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Reforma agraria bentuknya ada tiga, yaitu legalisasi aset, redistribusi tanah dan perhutanan sosial.
Legalisasi aset yang meliputi legalisasi terhadap tanah-tanah transmigrasi yang belum bersertifikat dan legalisasi terhadap tanah-tanah yang sudah berada dalam penguasaan masyarakat serta legalisasi terhadap kebudayaan masyarakat setempat seperti reyog Ponorogo salah satunya.
Untuk redistribusi tanah meliputi Hak Guna Usaha Habis, tanah terlantar dan tanah Negara lainnya dan tanah-tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. Namun melihat kondisi Kabupaten Ponorogo tanah pelepasan Kawasan hutan ini belum pernah dibahas sebelumnya dan angka kejadian minimal. Terkait redistribusi tanah untuk lahan persawahan terdapat istilah landreform.
Redistribusi Tanah Obyek Landreform merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan pemerataan kepemilikan tanah, hal ini dilatar belakangi oleh kesejahteraan petani yang masih cukup rendah yang disebabkan lahan pertanian mereka yang sedikit atau sempit. Kebanyakan kehidupan masyarakat tani tergantung pada sektor pertanian, dan di sektor inilah kesenjangan muncul. Kesenjangan tersebut terjadi karena adanya ketimpangan dalam hal pemilikan tanah pertanian.
Di satu sisi banyak terjadi pemilikan tanah yang berlebihan (oleh tuan-tuan tanah) dan di sisi lain banyak petani yang tidak memiliki tanah. Petani tidak bertanah tersebut bekerja hanya sebagai penggarap maupun buruh tani atau memiliki tanah tetapi sangat sempit. karena terlalu sempitnya mereka sering dijuluki sebagai petani gurem.
Kondisi tersebut mengakibatkan petani terbelenggu dengan kemiskinan. Kemiskinan yang diderita oleh petani adalah kemiskinan aset dan kemiskinan struktural. Sebagai upaya untuk mengatur penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, pemerintah telah mengeluarkan UU No.56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Pelaksanaan redistribusi tanah di Kabupaten Ponorogo telah sesuai dengan harus disesuaikan dengan ketentuan PP No.224 Tahun 1961 jo PP No.41 Tahun 1964, dimana penerima tanah redistribusi adalah para petani yang paling prioritas, tanah yang diredistribusikan diberikan dengan hak milik dan petani penerima redistribusi dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan penuh kesadaran.
Dari 70 responden, 67 (95,71%) berpendapat bahwa pelaksanaan reidistribusi tahan dapat meningkatkan produksi pertanian mereka, hal tersebut dikarenakan adanya faktor fisik dimana petani telah memiliki tanah garapan sendiri (memiliki hak secara penuh) dan adanya peningkatan pendayagunaan tanah serta pemeliharaan tanah oleh para petani (petani lebih intensif dalam bertani) serta faktor psikologis yaitu meningkatnya kegairahan atau semangat petani dalam bekerja dan hilangnya rasa khawatir oleh para petani terhadap status tanahnya.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan redistribusi tanah adalah sangat terbatasnya tanah yang tersedia bila dibandingkan dengan jumlah petani yang membutuhkan, oleh karenanya usaha-usaha untuk pembukaan tanah-tanah pertanian baru atau melalui transmigrasi perlu dilakukan. Kebijakan Pemerintah bidang pertanian adalah melindungi petani, lahan pertanian dan konsumen.
Redistribusi tanah juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani, karena dengan meningkatnya produksi pertanian maka akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan petani.
Peran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam Reforma Agraria adalah memberikan aset dan akses.
Dalam hal aset, Kementerian ATR/BPN menjamin kepastian hukum atas tanah yang dimiliki seperti memberikan sertifikat tanah, mempercepat pendaftaran tanah dan inventarisasi penguasaan, pemilikan dan penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam kerangka reforma agraria yang dilakukan melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Namun dalam kenyataannya masih sulit untuk mendapatkan hal tersebut, karena banyaknya tahapan atau birokrasi yang harus dilalui untuk mendapatkan sertifikat tanah dan lain sebagainya. Karena adanya kekauan dalam hal birokrasi hal ini yang kurang efektif. Namun jika dipandang dalam kacamata yang lain, dengan adanya birokrasi yang sulit hal ini akan membuat pihak non petani mendapatkan legalitas atas tanah pertanian yang akan diubah fungsinya menjadi wilayah industry.
Untuk hal akses Kementerian ATR/BPN memberikan pemberdayaan terhadap infrastruktur jalan dan irigasi, termasuk prasarana pascapanen, pendidikan dan pelatihan, kredit usaha, serta pemasaran.
(*) Penulis adalah Rida Diana (mahasiswi semester VI Ilmu Pemerintahan kelas A FISIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo)
Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 18221663
Posting Komentar