Ilustrasi (Foto: istimewa) |
Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senatiasa diorentasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka penjajah yang pada awalnya melalui politik dagang. Mereka sebagai penguasa sekaligus merangkap sebagai pengusaha menciptakan kepentingan-kepentingan atas segala sumber-sumber kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak kepentingan rakyat Indonesia.
Hukum agraria kolonial memiliki sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya Hukum Agraria yang berdasarkan atas hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan berdasarkan atas hukum barat. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI) dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia sebagai tanda terbentuknya negara kesatuan RI sebagai suatu bangsa yang merdeka.
Dari segi yuridis, proklamasi kemerdekaan merupakan saat tidak berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum Nasional, sedangkan dari segi politis, proklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terbatas dari penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Proklamasi kemerdekaan RI mempunyai 2 arti penting bagi penyusunan hukum agraria nasional yaitu pertama, bangsa Indonesia memutuskan hubungannya dengan hukum agraria kolonial dan kedua, bangsa Indonesia sekaligus menyusun hukum agraria Nasional.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno mengadakan sidang menghasilkan keputusan, antara lain ditetapkannya Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sebagai hukum dasar (konstitisi) negara RI. UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria Nasional yang dimuat dalam pasal 33 ayat (3), yaitu "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung untuk sebesarnya kemakmuran rakyat".
Ketentuan ini bersifat imperatif, yaitu mengandung pemerintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu, dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, tujuan dari penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Undang-undang Pokok Agraria Hukum Agraria Nasional (UUPA) merupakan pelaksanaan pasal 33 ayat (3) UU 1945 sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar ketentuan dalam pasal 33 pasal ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi pembentukan politik dan hukum agraria nasional, yang berisi perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
UUPA mempunyai dua subtansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonoial, dan kedua membangun hukum agraria Nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUPA, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanahan.
Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya. UUPA merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena di dalamnya memuat program yang dikenal dengan panca program agraria reforma Indonesia. Dalam pembentukan UUPA disertai dengan pencabutan terhadap peraturan dan keputusan yang dibuat pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, sebagaimana hal tersebut dalam dictum memutuskan UUPA dibawah perkataan "dengan mencabut".
Kebijkan hukum pertanahan adalah bagian dari kebijakan-kebijkan negara, sebagai sistem norma kebijkan hukum pertanahan tidak hanya dipergunakan untuk mengatur dan mempertahankan pola tingkah laku yang sudah ada, melainkan lebih sekedar itu. Hukum pertanahan seharusnya juga diperlakukan sebagai sarana pengarah dalam merealisasikan kebijakan negara dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, kebijkan, pertanahan dan keamanan Nasional.
Reaktualisasi nilai-nilai pancasila dalam reforma sangat diperlukan. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus dapat terintregasi dalam pembentukan atau pembangunan hukum. Kebijakan hukum pertanahan yang diterapkan ditengah-tengah masyarakat harus lebih menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga hukum bukanlah sesuatu yang asing ditengah-tengah masyarakat.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Dimana salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya kepastian terhadap hukum, untuk itu hukum yang mengatur tentang bumi, air, tanah maupun ruang angkasa beserta seluk-beluknya juga harus diatur. Ketidakpastian terhadap hukum juga memilki dampak yang buruk bagi perkembangan hukum di Negara Indonesia.
Dengan demikian diperlukannya aturan yang mengatur tentang hal tersebut, dengan diterbitkanya Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang (UU) pokok-pokok Agraria yang bersifat Nasional maka menggugurkan aturan-aturan yang sebelumnya mengatur tentang tanah.
Hukum dan kebijakan Agraria merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat maupun masyarakat luas dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur, juga untuk meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam Hukum Pertanahan serta meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
(*) Penulis adalah Ariska Rahayuningtyas (mahasiswi semester VI Ilmu Pemerintahan kelas B FISIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo)
Nomor Induk Mahasiswa (NIM): 18221741
Posting Komentar